Indonesia dan Nepal sama-sama diguncang oleh gelombang protes massa yang masif, yang berakar pada ketidakpuasan publik terhadap isu-isu fundamental seperti korupsi, kesenjangan ekonomi, dan tata kelola pemerintahan. Meskipun memiliki akar masalah yang serupa, dinamika, respons, dan hasil dari aksi-aksi ini sangat berbeda. Indonesia, dengan resiliensi ekonomi yang didukung oleh data makroekonomi yang stabil dan struktur politik yang mampu menyerap goncangan, terbukti dapat “bertahan” dari gejolak ini. Sebaliknya, Nepal, di tengah kerapuhan kelembagaan dan dipimpin oleh gerakan radikal yang terdesentralisasi, terperosok ke dalam kekosongan kekuasaan yang mengancam struktur politiknya.

Stabilitas Ekonomi Indonesia dan Nepal Pasca Demonstrasi
Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dapat menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, demonstrasi besar sering mengganggu aktivitas ekonomi harian, seperti terhambatnya distribusi barang, transportasi umum, dan kegiatan perdagangan akibat penutupan jalan atau rusaknya fasilitas publik. Hal ini menurunkan produktivitas dan menekan konsumsi masyarakat. Dari sisi pasar keuangan, ketidakpastian politik akibat aksi massa bisa menurunkan kepercayaan investor, mendorong terjadinya capital flight, meningkatkan volatilitas IHSG, dan melemahkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi terutama dari barang impor. Sementara itu, biaya pemulihan kerusakan infrastruktur maupun keamanan menambah beban fiskal pemerintah. Dalam jangka panjang, ketidakstabilan sosial politik akibat demonstrasi yang berulang bisa membuat investor menunda atau membatalkan penanaman modal baru, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi, menekan penciptaan lapangan kerja, serta menghambat pembangunan. Dengan demikian, stabilitas sosial dan politik menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional. Ekonom UGM, Denni Puspa Purbasari, S.E., M.Sc., Ph.D., mengatakan melemahnya kepercayaan pasar dan penurunan ekonomi sangat wajar terjadi sebagai imbas dari gelombang aksi unjuk rasa.
Sebab, stabilnya kondisi sosial dan politik menjadi salah satu tumpuan aspek ekonomi untuk tumbuh. “Untuk tumbuh, ekonomi perlu stabilitas politik sebagaimana dalam Trilogi Pembangunan zaman Presiden Soeharto yang menegaskan itu,” ujarnya kepada wartawan, kamis (4/9), di FEB UGM.
Berbeda dengan Indonesia Ekonomi Nepal saat ini berada di jurang krisis yang sangat dalam, ditandai oleh jatuhnya nilai mata uang nasional ke titik terlemah dalam sejarah dan disertai lonjakan pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Depresiasi mata uang membuat daya beli masyarakat tergerus, karena harga barang impor mulai dari kebutuhan pokok, energi, hingga bahan baku industri meningkat drastis. Kondisi ini mendorong inflasi tinggi yang semakin memberatkan masyarakat kecil dan menurunkan kualitas hidup. Di sisi lain, lemahnya nilai tukar memperburuk defisit perdagangan serta menambah beban pembayaran utang luar negeri, sehingga ruang fiskal pemerintah semakin sempit untuk melakukan stimulus ekonomi. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang stagnan semakin menegaskan bahwa roda perekonomian tidak berputar sebagaimana mestinya, bahkan mengalami kontraksi di beberapa sektor penting.
Dampak krisis ini paling terasa di pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran melonjak tajam, terutama di kalangan muda usia 15–24 tahun yang sulit mengakses lapangan kerja formal. Banyak lulusan baru yang tidak terserap, sementara pekerja sektor informal juga kehilangan penghasilan akibat melemahnya permintaan domestik. Situasi ini mendorong meningkatnya arus migrasi pekerja ke luar negeri, yang di satu sisi memang menghasilkan remitansi, tetapi di sisi lain menimbulkan masalah sosial karena banyak keluarga ditinggalkan dan ketergantungan ekonomi terhadap kiriman dari luar negeri semakin tinggi. Di dalam negeri, pengangguran massal memperbesar potensi kerusuhan sosial, karena kelompok muda yang frustrasi menjadi mudah tersulut untuk bergabung dalam aksi demonstrasi dan protes terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi yang berlangsung terus-menerus ini menimbulkan efek domino pada stabilitas sosial dan politik. Harga kebutuhan pokok yang terus naik mendorong keresahan publik, sementara ketidakmampuan pemerintah menstabilkan ekonomi membuat legitimasi politik semakin runtuh. Ketidakpastian ini juga melemahkan iklim investasi, sebab investor ragu menanamkan modal di tengah kondisi yang penuh gejolak. Jika dibiarkan berlarut-larut, kombinasi dari jatuhnya mata uang, rendahnya pertumbuhan, meningkatnya utang, inflasi yang tak terkendali, serta pengangguran massal dapat menyeret Nepal ke dalam spiral krisis multidimensi yang sulit dipulihkan dalam jangka pendek.
Stabilitas Politik Pasca Aksi Demo antara Indonesia dan Nepal

Demo dan kericuhan di wilayah Kathmandu, Nepal, bukan hanya menyebabkan vakumnya pemerintahan negara. Situasi politik negara mereka juga akan mengalami ketidakstabilan. Kondisi politik yang tidak stabil tersebut dapat berlaku dalam kurun waktu yang panjang. Perpolitikan negaranya dianggap baru bisa menyelesaikan persoalan ini seandainya membentuk pemerintahan persatuan nasional. Menurut Bipin Adhikari, Profesor Hukum Tata Negara Universitas Kathmandu, ia menjabarkan bahwa tak ada peraturan konstitusi yang jelas tentang langkah yang selanjutnya diterapkan. Opsi yang dianggap paling relevan dalam kondisi sekarang adalah mendirikan konsensus nasional. Kemudian, memberikan kepastian terhadap tuntutan para demonstran melalui dialog.
Berbeda dengan Nepal, Demonstrasi indoneisa yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan dan anarkisme, menimbulkan pembakaran fasilitas publik, penjarahan, hingga korban jiwa yang memicu kekhawatiran terhadap stabilitas politik nasional. Menanggapi hal tersebut, Presiden Prabowo bergerak cepat dengan menonaktifkan anggota DPR yang dianggap sebagai pemicu aksi, meninjau ulang tunjangan, serta memberlakukan moratorium kunjungan kerja luar negeri bagi anggota DPR untuk meredam kemarahan publik, sekaligus meminta pengusutan transparan atas korban jiwa. Di sisi lain, TNI dan Polri menjalankan operasi gabungan di berbagai wilayah untuk menjaga keamanan dan memastikan kontrol situasi tetap terjaga. Meski terjadi tekanan pasar dan efek kejut jangka pendek, stabilitas politik secara fundamental dinilai masih kuat berkat langkah tegas pemerintah dan sinergi aparat keamanan.
Pelajaran yang Dapat Diambil Indonesia dalam Menjaga Stabilitas dari Kasus Nepal
Direktur Haidar Alwi Institut, Sandri Rumanama, menilai krisis Nepal patut dijadikan pembelajaran. Ia menekankan, meskipun kondisi Indonesia relatif stabil, kewaspadaan tetap dibutuhkan. “Kita harus belajar dari kondisi Nepal hari ini. Sebagai negara demokrasi dengan tantangan ekonomi yang mirip, kita wajib bahu membahu menjadi satu kesatuan di tengah geopolitik global yang semakin tidak menentu,” kata Sandri.
Sandri mengingatkan, pemerintah dan aparat keamanan perlu selalu menjaga kesiapsiagaan. Menurutnya, langkah antisipatif penting agar potensi gesekan sosial tidak berkembang menjadi krisis.“Pemerintah harus bersatu, dan aparat keamanan juga harus siap menghadapi potensi gejolak,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menilai kerusuhan Nepal sebagai refleksi penting. Ia mencontohkan bagaimana kemarahan publik muncul akibat kebijakan pelarangan media sosial. “Kemarahan publik telah membawa dampak besar perubahan,” ujar Sukamta. Ia menekankan bahwa pejabat publik harus berhati-hati dalam bersikap dan berbicara agar tidak menyinggung masyarakat. Janji yang telah diucapkan juga harus diwujudkan dengan tindakan nyata. “Transparan pada data dan anggaran,” ucapnya. Sukamta juga menyoroti peran besar generasi muda, khususnya Gen Z, yang menjadi motor penggerak demonstrasi di Nepal.
Generasi ini tumbuh di era digital, cepat menyerap informasi, serta peduli pada isu-isu yang menyangkut kehidupan mereka, seperti pendidikan, lapangan kerja, lingkungan, dan korupsi. “Gen Z tidak suka basa-basi, karena mereka menginginkan keaslian, data yang jelas, dan kesempatan untuk berbicara,” katanya. Sementara itu, Aliansi Pembangunan Kemanusiaan Indonesia (AP-KI) menyerukan agar setiap elemen bangsa mengutamakan dialog dalam menyelesaikan perbedaan. Sekretaris AP-KI, Kaimuddin, menegaskan, pentingnya generasi muda untuk menahan diri. “Mari kita bersama-sama melindungi ruang publik, merawat solidaritas, dan menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan apa pun demi masa depan Indonesia yang damai dan bermartabat,” ungkapnya. Gejolak di Nepal menjadi pelajaran penting. Indonesia yang saat ini relatif stabil tetap perlu merawat kepercayaan publik dan menjaga ruang dialog, agar tidak muncul kerentanan serupa di masa depan.
Sumber/Referensi berita
https://jabar.nu.or.id/opini/stabilitas-ekonomi-nasional-pasca-aksi-demonstrasi-zffKW
https://tirto.id/kondisi-pemerintah-nepal-usai-presiden-nepal-menteri-keuangan-nepal-mundur-hhBs
