Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan meluncurkan kebijakan besar berupa penyuntikan dana Rp 200 triliun ke bank‐bank milik negara, yakni BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI. Tujuannya adalah mempercepat aliran uang (likuiditas) ke sektor riil agar kredit bisa tumbuh, konsumsi masyarakat bisa meningkat, dan perekonomian kembali bergerak.
Di tengah harapan publik terhadap kabinet baru, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung meluncurkan kebijakan ganda yang kontras: menyuntikkan dana menganggur sebesar Rp200 triliun ke bank-bank BUMN untuk mendongkrak kredit, sekaligus memutuskan tidak menaikkan cukai rokok di tahun 2026 demi melindungi industri dan tenaga kerja. Kebijakan ini segera menuai perdebatan, Apakah langkah ini adalah strategi bijak yang akan memajukan pertumbuhan ekonomi dengan menjamin likuiditas perbankan sambil menjaga stabilitas sektor padat karya, atau justru merupakan taruhan berisiko tinggi yang mengorbankan penerimaan negara, mengancam kesehatan masyarakat, dan menciptakan moral hazard baru dalam sistem keuangan nasional
Dampak Positif Suntikan dana Rp 200 Triliun ke Bank-bank Milik Negara


Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menggelontorkan Rp 200 triliun ke BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI dalam bentuk Deposito on Call berbunga 80,476% dari BI-Rate (sekitar 4,238%), tenor 6 bulan, dan dilarang digunakan untuk membeli SBN.
- Dampak Jangka Pendek
Kebijakan penyuntikan dana Rp 200 triliun memberikan dorongan langsung pada kekuatan likuiditas bank-bank BUMN. Dengan tambahan cadangan dana, bank memiliki ruang yang lebih leluasa untuk menyalurkan kredit, menurunkan biaya pinjaman, dan mempercepat restrukturisasi kredit bermasalah. Kebijakan ini juga memperkuat kepercayaan publik karena menunjukkan komitmen pemerintah menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah ketidakpastian global. Melimpahnya likuiditas membuat bank tidak perlu bersaing merebut dana mahal, sehingga suku bunga deposito maupun kredit turun dan menekan biaya modal dunia usaha. Selain itu, pasar valuta asing menjadi lebih tenang karena bank tidak terpacu mencari dolar, sehingga rupiah relatif stabil dan kepercayaan investor meningkat. - Dampak Jangka Menengah
Dalam jangka menengah, kebijakan ini berpotensi menggerakkan sektor riil melalui peningkatan penyaluran kredit ke UMKM, industri, pertanian, dan infrastruktur. Ketika kredit produktif mengalir, kegiatan ekonomi meningkat dan menimbulkan efek pengganda yang memperluas perputaran uang di berbagai sektor. Aktivitas usaha yang tumbuh ini memberikan dorongan positif terhadap produksi, konsumsi, dan penyerapan tenaga kerja. Jika pemanfaatan dana pemerintah berjalan optimal, pertumbuhan ekonomi nasional dapat meningkat sekitar 0,5 hingga 1 persen poin. Selain itu, naiknya transaksi dan profit usaha otomatis menambah penerimaan pajak negara, menjadikan kebijakan ini bukan hanya menopang stabilitas, tetapi juga menciptakan sumber pendapatan baru bagi fiskal. - Dampak Jangka Panjang
Dalam perspektif jangka panjang, kebijakan ini ditujukan untuk memperkuat fondasi struktural sistem keuangan. Bank dengan likuiditas yang sehat akan lebih siap menghadapi gejolak ekonomi global dan krisis keuangan. Penyaluran kredit yang menjangkau UMKM dan kelompok ekonomi kecil turut meningkatkan inklusi keuangan sehingga lebih banyak masyarakat terintegrasi dalam sistem keuangan formal. Dampak jangka panjang lainnya adalah meningkatnya minat investor, baik domestik maupun asing, karena kebijakan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga stabilitas sektor perbankan. Kepercayaan investor yang tumbuh pada akhirnya akan mendorong arus modal dan investasi jangka panjang ke Indonesia.
Dampak Negarif Suntikan dana Rp 200 Triliun ke Bank-bank Milik Negara
Kebijakan penyuntikan dana Rp 200 triliun ke bank-bank negara menyimpan beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Dalam jangka pendek, terdapat potensi kenaikan inflasi apabila dana tersebut lebih banyak mengalir ke sektor konsumtif sementara produksi tidak meningkat. Di sisi internal perbankan, kebijakan ini dapat memicu moral hazard, membuat bank merasa terlalu aman sehingga melonggarkan prinsip kehati-hatian, serta berisiko menyalurkan kredit tidak tepat sasaran. Pada tingkat makroekonomi, likuiditas berlebih dapat mengalir ke pasar aset dan menciptakan gelembung harga yang berbahaya, sementara secara fiskal, dana yang sangat besar ini berpotensi menambah beban anggaran negara jika tidak memberikan dampak ekonomi yang sepadan.
Pembatalan Kenaikan Cukai Rokok Kian Mengancam Kesehatan Masyarakat

Kementerian Keuangan berencana membatalkan kenaikan cukai rokok tahun 2026, sebuah keputusan yang menuai kritik karena dinilai mengancam kesehatan publik. Berbagai pakar, termasuk PKJS-UI, menegaskan bahwa konsumsi rokok Indonesia sangat tinggi dan prevalensi perokok anak terus meningkat. Dengan tarif cukai yang rendah, rokok tetap murah dan mudah diakses, terutama oleh anak-anak dan kelompok berpenghasilan rendah. Data WHO dan GATS 2021 menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia, sehingga kebijakan tidak menaikkan cukai dinilai kontraproduktif terhadap upaya menekan konsumsi tembakau dan melindungi generasi muda.
Sejumlah penelitian, termasuk kajian CISDI, membuktikan bahwa kenaikan cukai rokok merupakan instrumen paling efektif dalam menekan konsumsi, membatasi akses, dan mencegah inisiasi merokok pada remaja. Kenaikan harga dapat menurunkan potensi perokok baru hingga lebih dari 20 persen dan memberikan efek berantai pada perilaku kelompok sebaya. Selain manfaat kesehatan, cukai rokok juga memberikan kontribusi ekonomi signifikan; kenaikan tarif hingga 30 persen berpotensi menambah pendapatan negara miliaran rupiah yang dapat digunakan untuk membantu pekerja sektor tembakau beralih ke pekerjaan yang lebih layak. Dengan berbagai temuan tersebut, banyak pihak menilai penundaan kenaikan tarif cukai justru melemahkan upaya pengendalian tembakau nasional.
Alasan Menkeu Purbaya Tolak Kenaikan Cukai Rokok 2026
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kritik publik terkait keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2026 dengan menekankan kekhawatiran terhadap potensi meningkatnya pengangguran. Ia menyatakan bahwa kenaikan cukai berisiko mematikan industri rokok dan menghilangkan lapangan kerja bagi banyak pekerja. Menurutnya, perubahan kebijakan hanya dapat dilakukan jika ada alternatif yang mampu menggantikan lapangan kerja yang hilang akibat penurunan produksi industri rokok. Sikap ini menunjukkan bahwa pemerintah menempatkan keberlangsungan tenaga kerja sebagai salah satu pertimbangan utama dalam menentukan arah kebijakan fiskal.
Selain itu, kebijakan tidak menaikkan cukai juga dikaitkan dengan upaya menekan peredaran rokok ilegal yang selama ini merugikan negara serta mengganggu industri rokok legal yang taat membayar pajak. Pemerintah menilai stabilitas harga berperan penting dalam menjaga daya saing produk legal di tengah masuknya rokok ilegal dari dalam maupun luar negeri. Dengan argumentasi tersebut, keputusan Purbaya diposisikan sebagai pilihan pragmatis yang berusaha menyeimbangkan antara perlindungan industri, penerimaan negara, dan dinamika pasar, meski di sisi lain memunculkan dilema kebijakan terhadap agenda kesehatan masyarakat.
Sumber/Referesi Berita
https://cisdi.org/artikel/tolak-usulan-moratorium-cukai-rokok
https://validnews.id/ekonomi/disuntik-rp-t-lps-imbau-bank-hati-hati-salurkan-kredit
