Kewajiban Sertifikasi Halal 2026 Bikin Importir AS Ketar-ketir, Akankah Indonesia Bergeming?

Kebijakan sertifikasi halal yang akan diberlakukan penuh pada 2026 di Indonesia menjadi salah satu isu utama dalam hubungan perdagangan Indonesia-Amerika Serikat. Aturan ini memicu protes keras, terutama dari Presiden AS, Donald Trump, yang menilai kebijakan tersebut dapat menghambat produk-produk Amerika masuk ke pasar Indonesia.

Kekhawatiran Importir AS terhadap Sertifikasi Halal

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Indonesia mengatur bahwa seluruh produk yang masuk dan beredar di pasar domestik harus memiliki sertifikat halal yang diakui secara nasional. Kebijakan ini mencakup produk-produk impor, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan eksportir Amerika Serikat. Dalam National Trade Estimate Report 2025, pemerintah AS mengkritik proses penyusunan regulasi halal di Indonesia yang dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan pemangku kepentingan asing secara memadai. Importir AS menilai bahwa proses sertifikasi halal dapat menambah beban biaya, memperpanjang proses birokrasi, serta menciptakan hambatan non-tarif yang signifikan bagi produk mereka. Akibatnya, akses produk-produk AS ke pasar Indonesia dikhawatirkan menjadi semakin terbatas, sehingga berpotensi menurunkan volume perdagangan kedua negara. Kekhawatiran ini juga diperkuat oleh fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar di Asia Tenggara, sehingga kebijakan sertifikasi halal yang ketat dapat berdampak besar terhadap ekspor AS, terutama di sektor makanan, minuman, dan farmasi.

Protes Donald Trump: “Hambatan Perdagangan!”

Presiden Donald Trump secara tegas memprotes penerapan aturan sertifikasi halal di Indonesia. Menurut Trump, kebijakan tersebut merupakan hambatan teknis perdagangan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), khususnya terkait perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade/TBT). Trump menuntut agar Indonesia melakukan pemberitahuan dan konsultasi dengan mitra dagang sebelum memberlakukan perubahan regulasi yang berdampak pada perdagangan internasional. Sebagai bentuk tekanan terhadap Indonesia, Trump bahkan mengeluarkan perintah eksekutif yang menetapkan tarif timbal balik (reciprocal tariffs) dengan tarif dasar minimum sebesar 10% dan tarif lebih tinggi hingga 32% untuk produk-produk impor asal Indonesia. Langkah ini diambil untuk mendorong Indonesia agar lebih terbuka dan kooperatif dalam penyusunan kebijakan yang berdampak pada perdagangan bilateral. Protes keras dari Trump ini menandakan bahwa isu sertifikasi halal tidak hanya dipandang sebagai masalah administratif, tetapi juga sebagai instrumen negosiasi dalam hubungan dagang kedua negara.

Regulasi Sertifikasi Halal: Progresif dan Dinamis

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana untuk mendukung implementasi sertifikasi halal, seperti Keputusan Menteri Agama No. 748/2021, No. 944/2024, dan No. 816/2024 yang secara rinci mengatur daftar produk wajib halal. Selain itu, pemerintah juga menerapkan konsep “daftar positif” halal yang dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan industri dan kebutuhan masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, pola pemberitahuan Indonesia ke WTO terkait regulasi halal cenderung dilakukan setelah aturan diberlakukan, bukan sebelum atau selama proses penyusunan. Hal ini menjadi salah satu kritik utama dari pihak Amerika Serikat, yang menilai bahwa proses tersebut kurang transparan dan tidak memberikan kesempatan bagi negara mitra untuk memberikan masukan. Namun, dari sudut pandang pemerintah Indonesia, langkah ini diambil untuk memastikan perlindungan konsumen Muslim sebagai mayoritas penduduk, serta untuk menjaga kedaulatan dalam menentukan standar produk di pasar domestik. Kebijakan yang progresif dan dinamis ini menunjukkan bahwa Indonesia berupaya menyesuaikan regulasi dengan perkembangan zaman, namun tetap menghadapi tantangan dalam komunikasi dan koordinasi dengan mitra dagang internasional.

Respons Pemerintah dan Dunia Usaha Indonesia

Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa sertifikasi halal merupakan bentuk perlindungan konsumen, khususnya bagi mayoritas penduduk Muslim di Indonesia. Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Industri Halal, Shinta Kamdani, menyatakan bahwa sertifikasi halal tidak hanya sekadar label agama, melainkan juga merupakan jaminan kualitas dan keamanan produk yang beredar di pasar domestik. Pemerintah juga mengambil langkah strategis dengan menunda kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hingga tahun 2026, guna memberikan waktu adaptasi yang memadai bagi pelaku usaha kecil agar tidak terbebani secara administratif maupun finansial. Namun, untuk produk impor, penerapan aturan ini tetap dilakukan secara ketat sebagai bentuk komitmen terhadap perlindungan konsumen. Kadin Indonesia juga menekankan bahwa sertifikasi halal merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas produk nasional dan perlindungan konsumen, bukan sekadar aturan administratif yang membebani pelaku usaha. Sikap tegas pemerintah dan dunia usaha ini menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menjaga standar halal nasional, meskipun menghadapi tekanan dari negara mitra dagang seperti Amerika Serikat.

Akankah Indonesia Bergeming?

Tekanan dari Amerika Serikat terhadap kebijakan sertifikasi halal Indonesia memang sangat besar, baik melalui jalur diplomasi maupun instrumen perdagangan seperti penerapan tarif timbal balik. Namun, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan mengorbankan kedaulatan dan perlindungan konsumen demi memenuhi tuntutan negara lain. Sertifikasi halal dipandang sebagai hak setiap negara untuk mengatur standar produk di pasar domestiknya sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakatnya. Para pengamat menilai bahwa Indonesia perlu konsisten dalam implementasi regulasi halal agar tercipta kepastian hukum dan perlindungan konsumen yang optimal. Di sisi lain, pemerintah juga disarankan untuk tetap terbuka dalam berdialog dengan mitra dagang internasional guna mencegah terjadinya ketegangan berkepanjangan yang dapat merugikan kedua belah pihak. Dengan demikian, posisi Indonesia dalam isu sertifikasi halal ini mencerminkan sikap tegas dalam menjaga kedaulatan nasional, sekaligus tetap membuka ruang komunikasi diplomatik untuk menjaga hubungan dagang yang sehat dan berkelanjutan.

Sumber/Referensi berita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *