Kebijakan tarif bea masuk impor ke Amerika Serikat mendorong sejumlah negara menempuh jalan negosiasi, tak terkecuali Indonesia. Perundingan bilateral tampaknya tak hanya terfokus pada besaran tarif yang dikenakan, tetapi juga menyasar pada sejumlah aspek lainnya. Salah satu yang menjadi sorotan AS adalah sistem pembayaran digital Indonesia, QRIS yang dinilai menghambat AS.

Kekhawatiran US terhadap penggunaan GPN dan Qris di Indonesia
Pemerintah AS mengkhawatirkan layanan keuangan Indonesia yang dinilai menghambat perdagangan luar negeri AS, yakni Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Pernyataan ini disampaikan dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang terbit pada 31 Maret 2025. Dalam laporan yang keluar sebelum presiden AS mengumumkan kebijakan tarifnya itu, disebutkan bahwa implementasi GPN dan QRIS menghambat perdagangan digital dan elektronik. Hal ini berpotensi memengaruhi perusahaan-perusahaan AS.
Terkait GPN, Bank Indonesia mewajibkan agar seluruh transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang memiliki lisensi dari BI dan beroperasi di Indonesia. Sementara itu, terkait QRIS, kekhawatiran dari Amerika Serikat muncul karena QRIS dijadikan sebagai standar nasional untuk semua pembayaran menggunakan kode QR di Indonesia. Dalam proses penetapan QRIS tersebut, disebutkan bahwa pemangku kepentingan asing tidak dilibatkan dalam diskusi. Selama proses pembuatan kebijakan QRIS, mulai dari perubahan yang dilakukan, integrasi dengan sistem pembayaran yang sudah ada, hingga pandangan pihak lain terhadap kebijakan ini, tidak melibatkan pihak luar negeri secara langsung.

Tanggapan ahli ekonomi terkait kekhawatiran US
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa dominasi Mastercard dan Visa di Indonesia semakin tertekan dengan kehadiran GPN dan QRIS. Oleh karena itu, Bhima berpendapat bahwa Indonesia sebaiknya terus mengembangkan peran QRIS dan tidak harus menuruti semua tuntutan negosiasi dari Amerika Serikat. Ia juga menekankan pentingnya pemerintah untuk mengutamakan kepentingan nasional.
Sejalan dengan pandangan Bhima, ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, juga menilai bahwa pemerintah tidak perlu mengikuti semua masukan dari luar. Sebagai alternatif, Wijayanto menyarankan agar Indonesia menjalin kerja sama dengan negara lain guna mencari pasar selain Amerika Serikat.
Negosiasi terbuka Pemerintah RI dan Bank Indonesia
Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan delegasi Pemerintah RI mengenai isu QRIS yang dianggap sebagai salah satu hambatan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Pelaku industri sistem pembayaran di Indonesia mengklaim, keberadaan QRIS tidak untuk menafikan aturan main internasional, tetapi mendorong perekonomian dan inklusi keuangan domestik.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menyatakan, BI telah berkomunikasi dengan Menteri Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang saat ini berada di Washington DC untuk bernegosiasi dengan Pemerintah AS terkait pengenaan tarif impor resiprokal AS atas produk Indonesia. Hingga saat ini, proses antara delegasi RI yang dipimpin oleh Airlangga dengan pihak USTR masih berlangsung. Salah satu isu yang sedang dinegosiasikan oleh delegasi adalah perihal QRIS.
Dampak sorotan AS kepada QRIS dan GPN terhadap Perekonomian Indonesia
QRIS dan GPN merupakan inisiatif Bank Indonesia untuk memperkuat sistem pembayaran domestik dan mendorong inklusi keuangan, terutama untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sistem ini dinilai sangat praktis dan telah memperluas akses keuangan di dalam negeri. Sorotan AS berpotensi menimbulkan tekanan dalam negosiasi tarif dan kerja sama dagang, namun pemerintah Indonesia bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah berkoordinasi untuk menanggapi masukan AS tanpa mengorbankan kedaulatan kebijakan nasional.
Ekonom dan pengamat menilai bahwa penggunaan QRIS adalah hak kedaulatan Indonesia dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat serta negara, sehingga pemerintah disarankan untuk tetap mempertahankan sistem ini dan tidak terprovokasi oleh tekanan AS. Bank Indonesia juga membuka peluang kerja sama internasional dalam sistem pembayaran lintas batas jika kedua belah pihak siap, menunjukkan sikap terbuka namun tetap menjaga kemandirian sistem pembayaran nasional
Kekhawatiran Amerika Serikat terhadap QRIS sebenarnya lebih banyak dipicu oleh potensi berkurangnya dominasi jaringan pembayaran global asal AS, seperti Visa dan MasterCard, di pasar Indonesia. Dengan adopsi QRIS, transaksi domestik semakin banyak menggunakan sistem pembayaran lokal sehingga mengurangi ketergantungan pada infrastruktur pembayaran milik perusahaan asing. Namun, jika dilihat secara makro, kekhawatiran tersebut kurang relevan karena volume transaksi global Visa dan MasterCard tetap tumbuh positif, bahkan mencatat kenaikan signifikan pada 2024.
Referensi
- https://www.kompas.com/tren/read/2025/04/22/100000865/us-khawatirkan-penggunaan-gpn-dan-qris-di-indonesia-apa-kata-ahli-ekonomi-
- https://www.kompas.id/artikel/qris-disorot-as-pemerintah-dan-bi-terbuka-negosiasi
- https://www.kompas.id/artikel/qris-dalam-sorotan-negosiasi-tarif-trump-akankan-indonesia-mengalah?status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https://www.kompas.id/artikel/qris-dalam-sorotan-negosiasi-tarif-trump-akankan-indonesia-mengalah&loc=header
- https://www.merdeka.com/uang/dugaan-kuat-penyebab-donald-trump-keluhkan-qris-di-indonesia-382903-mvk.html?page=2