Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang menjadikan vasektomi (pemandulan pria) sebagai syarat wajib bansos menjadi salah satu isu yang diperdebatkan bayak orang. Kebijakan yang targetnya untuk masyarakat ekonomi menegah kebawah atau miskin ini memicu pro dan kontra baik dari sisi ekonomi maupun aturan agama.
Vasektomi Sebagai Kebijakan yang Efektif dalam Melawan Kemiskinan Kultural

Tahun 2025, penduduk Jawa Barat diprediksi tembus 50,76 juta orang. Luas wilayah 35.380 km². Artinya 1.365 orang berebut napas tiap kilometer. Pertumbuhan penduduk Jawa Barat sekitar 600 ribu jiwa per tahun dan yang paling rajin nambah anak adalah Keluarga miskin. Masalahnya, semua ini akhirnya numpuk jadi beban negara. Per September 2024, ada 3,9 juta penduduk miskin di Jawa Barat. itu angka optimis. Realitanya mungkin bisa lebih. Pemerintah tiap tahun dipaksa kasih bansos ke jutaan orang, tapi anggarannya itu-itu aja. Ini bukan bantuan sosial lagi, ini subsidi gaya hidup tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, usulan Pak Gubernur Dedi Mulyadi soal vasektomi itu masuk akal. Bukan paksaan, tapi peringatan keras: mau hidup dari negara? Oke. Tapi jangan terus-terusan nyumbang masalah baru tiap sembilan bulan.
Kebijakan ini berusaha menjadi “tamparan” untuk realita yang menyakitkan: ada keluarga-keluarga yang terus-menerus menambah jumlah anggota rumah tangga, tapi secara finansial sepenuhnya menggantungkan hidup pada bantuan pemerintah. Anak-anak terus lahir, tapi masa depannya gelap karena sumber dayanya terbatas. Akhirnya, negara yang harus terus nombok, sementara orang tuanya bilang, “Ya udah sih, rezeki anak udah ada yang ngatur.” Kebijakan ini ingin mematahkan lingkaran setan yang disebut kemiskinan kultural, kemiskinan yang bukan sekadar karena tidak punya uang, tapi karena pola pikir, budaya, dan kebiasaan yang mengekalkan kemiskinan itu sendiri. Budaya “banyak anak banyak rejeki” sudah tidak relevan di era di mana rejeki butuh WiFi, pendidikan, dan BPJS.
Vasektomi Bansos Bentuk Diskriminasi dan Ketidakadilan Sosial
Menurut antropolog dari Universitas Indonesia, Irwan Hidayana. “Kebijakan ini hanya akan menyasar kelompok tertentu, dalam konteks ini yang miskin dan marginal. Ini adalah satu bentuk eksklusi sosial,” kata Irwan. Irwan juga menyebut vasektomi sebagai syarat bansos didasarkan pada asumsi yang tidak keliru. “Lebih buruknya lagi,” kata dia, “kebijakan ini bisa memberi stigma pada si miskin”. Kebijakan ini dinilai sangat diskriminatif dan berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial, karena hanya menyasar kelompok miskin yang umumnya memiliki anggota keluarga lebih banyak. Alih-alih inklusif, sistem bansos menjadi eksklusif dan memaksa kelompok rentan untuk mengikuti prosedur medis permanen agar bisa mengakses hak dasarnya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro turut mengkritik kebijakan ini. Menurutnya, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos berpotensi melanggar hak privasi warga negara. “Vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain,” ujar Atnike Dia menambahkan, pemaksaan tindakan medis seperti vasektomi, bahkan dalam konteks hukum pidana, tidak dibenarkan. Apalagi, jika itu dilakukan terhadap warga miskin demi menerima hak sosial mereka. “Pemaksaan KB saja itu kan pelanggaran HAM,” tegas Atnike.
Kehalalan dan Keharaman Vasektomi Menurut MUI
Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Barat menegaskan sterilisasi pada pria atau vasektomi sangat tidak diperbolehkan atau haram dalam pandangan Islam karena dianggap sebagai tindakan pemandulan yang permanen. Ketua Bidang Keagamaan PBNU, Ahmad Fahrur Rozi menyatakan bahwa pemaksaan vasektomi adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam. “Kami tidak mendukung pemaksaan vasektomi untuk penerima bansos,” kata Gus Fahrur, Menurutnya, mayoritas ulama mengharamkan metode vasektomi karena dianggap sebagai tindakan pemandulan permanen. “Karena vasektomi itu ulama masih berbeda pendapat dan mayoritas mengharamkan apabila mencegah kelahiran secara total,” ucapnya. Dia menambahkan, pemerintah seharusnya cukup menganjurkan KB tanpa memaksakan jenis kontrasepsi tertentu. “Saya kira ajaran ber-KB sudah cukup, tidak harus dipaksakan vasektomi,” ujarnya. Sementara itu, Ketua MUI Jawa Barat KH Rahmat Syafei menegaskan bahwa vasektomi bertentangan dengan syariat Islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang mendesak secara medis. “Pada intinya vasektomi itu haram dan itu sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012,” kata Rahmat.
MUI menegaskan bahwa vasektomi pada dasarnya diperbolehkan (mubah) dalam Islam selama dilakukan atas kesadaran dan kerelaan pasangan suami-istri untuk mengatur jarak kelahiran atau alasan medis tertentu, bukan karena paksaan. Namun, MUI menolak jika vasektomi dijadikan syarat wajib untuk mendapatkan bansos, karena hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip kemaslahatan dan keadilan dalam Islam. Kebijakan tersebut dinilai dapat memaksa masyarakat miskin untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan hanya demi memperoleh bantuan. MUI menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan alternatif kebijakan yang lebih manusiawi dan tidak mengorbankan hak reproduksi warga, sambil tetap mengedepankan dialog dengan ulama dan pakar agama dalam merumuskan kebijakan publik yang sensitif terhadap nilai-nilai keagamaan.
Alternatif Kebijakan yang Bisa Diterapkan
Sejumlah alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan pemerintah sebagai pengganti syarat vasektomi dalam penyaluran bantuan sosial (bansos). Salah satu rekomendasi utama adalah pendekatan edukasi dan sosialisasi keluarga berencana (KB) secara sukarela, bukan melalui pemaksaan. Dr. Hasto Wardoyo, mantan Kepala BKKBN, menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya memberikan insentif atau penghargaan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam program KB, alih-alih menjadikan kontrasepsi sebagai syarat wajib untuk menerima bansos. Menurutnya, pendekatan persuasif seperti ini lebih efektif dan manusiawi dalam jangka panjang.Selain itu, Nanda Yulia, seorang aktivis hak reproduksi, menyarankan agar pemerintah memperluas akses layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dan terjangkau, khususnya bagi masyarakat miskin. Ia menekankan bahwa kebijakan publik harus memastikan hak reproduksi individu dihormati, tanpa ada tekanan atau paksaan dari negara. Menurutnya, fasilitas kesehatan yang ramah dan informatif akan mendorong partisipasi masyarakat dalam KB tanpa merasa terancam kehilangan bantuan sosial.
Alih-alih meluncurkan strategi kontroversial ini, sejumlah strategi jangka pendek dan jangka panjang disebut bisa mengatasi pertumbuhan penduduk dan masalah kemiskinan yang menahun. Siti Aminah Tardi Direktur Indonesian Legal Resource Canter sekaligus Komisioner Komnas Perempuan. mengusulkan agar para pejabat membangun kesadaran warga tentang perencanaan kehamilan. Menyediakan alat kontrasepsi yang mudah diakses secara cuma-Cuma disebutnya juga krusial. Meski trennya terus menurun, menurut data BPS jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih jadi terbanyak yang kedua di Indonesia. Jumlahnya mencapai 7,49 persen atau sekitar 3,89 juta orang. Di Jawa Barat, tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat adalah yang terbesar di Indonesia. Angkanya mencapai 6,75 persen dari total angkatan kerja, menurut BPS. “Penduduk muda yang banyak ini, dalam 10 tahun ke depan mau diapakan? Kalau tidak diserap ke lapangan kerja dan menganggur akan terjadi guncangan sosial,” kata Muchtar Habibi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Bonus demografi yang kerap diglorifikasi politisi menurut Muchtar justru akan berbalik menjadi kerugian. “Kalau tidak ada industrialisasi yang masif, sudah pasti yang terjadi bukan bonus, tapi bom demografi,” tuturnya. Namun Muchtar menekankan industrialisasi yang dia maksud tidak sama dengan hilirisasi—istilah yang kerap digaungkan pemerintah belakangan ini. “Hilirisasi cuma menambah nilai tambah di satu sektor cabang industri. Sementara industrialisasi harus memperhatikan transformasi ekonomi di seluruh sektor, seperti pertanian, manufaktur, dan jasa,” ujarnya.
Muchtar menilai sektor pertanian perlu mendapatkan prioritas pemerintah. Merujuk sejarah, kata dia, semua negara yang berhasil melakukan industrialisasi memulainya dengan perombakan tata kepemilikan tanah di pedesaan. “Tidak ada industrialisasi tanpa reforma agraria,” ujarnya. Muchtar menilai, kepemilikan tanah untuk petani kecil akan meningkatkan daya beli warga pedesaan secara langsung. Daya beli yang meningkat, kata dia, bisa mendorong permintaan barang-barang dari cabang industri yang lain. Opsi lainnya adalah meningkatkan upah pekerja, kata Habib. “Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sejak dulu melaporkan upah pekerja di Indonesia di bawah produktivitasnya,” tuturnya. “Sudah waktunya upah pekerja disesuaikan dengan produktivitas, bukan mengandalkan formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” kata Muchtar.
Sumber/Referensi berita
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce3v3k1l8jno
- https://nasional.kompas.com/read/2025/05/04/08505611/ramai-kritik-dedi-mulyadi-jadikan-vasektomi-syarat-dapat-bansos-dianggap?page=all
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250503201113-20-1225413/dedi-mulyadi-respons-fatwa-haram-mui-soal-vasektomi-jadi-syarat-bansos
- https://mui.or.id/baca/berita/polemik-vasektomi-jadi-syarat-bansos-apa-hukumnya-menurut-islam-ini-penjelasan-mui
- https://www.kompas.id/artikel/syarat-vasektomi-untuk-mendapat-bantuan-sosial-berisiko-menimbulkan-diskriminasi-dan-pelanggaran-ham